Pada tahun 1830, pemerintah kolonial Belanda di Indonesia menerapkan sebuah kebijakan yang dikenal dengan nama Cultuurstelsel atau sistem tanam paksa. Kebijakan ini merupakan gagasan dari Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch yang bertujuan untuk menyelamatkan negara Belanda dari krisis ekonomi.
Krisis ekonomi yang dialami Belanda disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain:
- Perang melawan Prancis di bawah Napoleon Bonaparte yang menghabiskan biaya besar.
- Perang kemerdekaan Belgia yang mengakibatkan terpisahnya Belgia dari Belanda pada tahun 1830.
- Perang melawan rakyat Indonesia, terutama Perang Diponegoro (1825-1830) dan Perang Padri (1803-1837) yang banyak menelan korban jiwa dan harta benda.
Akibatnya, kas pemerintah Belanda kosong dan negara tersebut terlilit utang. Untuk mengatasi masalah ini, van den Bosch mengusulkan agar pemerintah kolonial memanfaatkan sumber daya alam dan tenaga kerja rakyat Indonesia untuk meningkatkan pendapatan negara.
Cara yang dilakukan adalah dengan mewajibkan setiap desa dan perorangan di Pulau Jawa dan Madura untuk menyisihkan sebagian tanahnya sebesar 20 persen untuk ditanami komoditas ekspor, seperti kopi, tebu, teh, tembakau, nila, dan karet. Hasil panen kemudian dibeli oleh pemerintah kolonial dengan harga yang sudah ditentukan sebelumnya dan diekspor ke Eropa. Selain itu, penduduk yang tidak memiliki tanah harus bekerja selama 66-75 hari dalam setahun di kebun-kebun milik pemerintah.
Dengan demikian, tujuan utama adanya kebijakan tanam paksa di bawah gubernur van den boasch yaitu untuk mengisi kekosongan kas Belanda dengan memeras hasil bumi dan tenaga kerja rakyat Indonesia. Kebijakan ini berlangsung selama 40 tahun (1830-1870) dan berhasil meningkatkan pendapatan Belanda secara signifikan. Namun, kebijakan ini juga menimbulkan dampak negatif bagi rakyat Indonesia, seperti:
- Kerusakan lingkungan akibat perubahan pola tanam dan penggunaan pupuk kimia.
- Penyakit dan kelaparan akibat kurangnya tanaman pangan dan gizi.
- Penindasan dan pelanggaran hak asasi manusia akibat penyalahgunaan wewenang oleh para pejabat kolonial dan pribumi.
- Kesenjangan sosial dan ekonomi antara golongan bangsawan dan rakyat jelata.
Kebijakan tanam paksa mendapat banyak kritik dan protes dari berbagai pihak, baik di dalam maupun di luar negeri. Di antaranya adalah Multatuli, seorang penulis Belanda yang menulis novel Max Havelaar (1860) yang mengungkapkan penderitaan rakyat Indonesia akibat tanam paksa. Akhirnya, pada tahun 1870, kebijakan tanam paksa secara bertahap mulai dihapuskan dan digantikan oleh sistem ekonomi liberal yang memberikan kesempatan bagi swasta untuk berinvestasi di Indonesia.