Demokrasi terpimpin adalah sistem pemerintahan yang diterapkan oleh Presiden Soekarno sejak tahun 1959 hingga 1965. Sistem ini berbeda dengan demokrasi liberal yang berlaku sebelumnya, karena menempatkan Presiden sebagai pemimpin tunggal yang memiliki kekuasaan penuh atas negara. Presiden Soekarno mengeluarkan berbagai kebijakan yang bertujuan untuk memperkuat kedaulatan, kemerdekaan, dan persatuan bangsa Indonesia di tengah tantangan politik, ekonomi, dan sosial baik dalam maupun luar negeri. Berikut adalah beberapa kebijakan yang diterapkan oleh Presiden Soekarno pada masa demokrasi terpimpin:
Manifesto Politik USDEK
USDEK adalah singkatan dari Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia. USDEK merupakan manifesto politik yang dijadikan sebagai Garis Besar Haluan Negara (GBHN) oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960. USDEK mencerminkan ideologi dan cita-cita nasional yang harus diwujudkan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Pembentukan MPRS dan DPAS
MPRS adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang dibentuk berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. MPRS merupakan lembaga tertinggi negara yang berfungsi untuk menetapkan GBHN, mengangkat dan memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden, serta mengubah UUD 1945. DPAS adalah Dewan Pertimbangan Agung Sementara yang dibentuk pada tahun 1960 sebagai lembaga penasihat Presiden dalam hal politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan.
Pembentukan Front Nasional
Front Nasional adalah organisasi politik yang dibentuk oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960 untuk menggabungkan seluruh partai politik, organisasi massa, dan unsur-unsur masyarakat yang mendukung pemerintahan demokrasi terpimpin. Tujuan pembentukan Front Nasional adalah untuk memperkuat persatuan nasional dan menghadapi ancaman neo-kolonialisme dan imperialisme.
Pembubaran DPR hasil pemilu dan membentuk DPR GR
DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat yang merupakan lembaga legislatif negara. Pada masa demokrasi liberal, DPR terdiri dari anggota-anggota partai politik yang terpilih melalui pemilu. Namun, pada masa demokrasi terpimpin, Presiden Soekarno membubarkan DPR hasil pemilu tahun 1955 dengan alasan bahwa DPR tidak mampu menjalankan fungsi legislasi dengan baik. Sebagai gantinya, Presiden Soekarno membentuk DPR Gotong Royong (DPR GR) pada tahun 1960 yang anggotanya ditunjuk oleh Presiden dari berbagai golongan dan lapisan masyarakat. DPR GR diharapkan dapat bekerja sama dengan Presiden dalam membuat undang-undang.
Pembubaran partai Masyumi dan PSI
Masyumi dan PSI adalah dua partai politik yang tidak mendukung pemerintahan demokrasi terpimpin. Masyumi adalah partai Islam yang bersikap anti-komunis dan pro-Barat. PSI adalah partai sosialis yang berhaluan liberal dan demokratis. Kedua partai ini dianggap sebagai ancaman bagi keutuhan dan kesatuan bangsa oleh Presiden Soekarno. Oleh karena itu, Presiden Soekarno membubarkan kedua partai ini pada tahun 1960 dengan tuduhan terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta.
Pemasyarakatan ajaran Nasakom
Nasakom adalah singkatan dari Nasionalis, Agama, dan Komunis. Nasakom merupakan ajaran yang menggabungkan tiga aliran politik yang ada di Indonesia, yaitu nasionalisme, agama, dan komunisme. Presiden Soekarno memasyarakatkan ajaran Nasakom sebagai salah satu cara untuk menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa di tengah perbedaan ideologi. Ajaran Nasakom juga dimaksudkan untuk mengimbangi pengaruh Barat dan Timur yang berusaha memecah belah Indonesia.
Politik konfrontasi dengan Malaysia
Politik konfrontasi dengan Malaysia adalah sikap politik luar negeri Indonesia yang menentang pembentukan Federasi Malaysia pada tahun 1963. Federasi Malaysia merupakan gabungan antara Malaya, Singapura, Sarawak, dan Sabah. Indonesia menganggap pembentukan Federasi Malaysia sebagai bentuk neo-kolonialisme Inggris yang bertujuan untuk menguasai wilayah-wilayah di Asia Tenggara. Presiden Soekarno mengeluarkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) pada tahun 1964 sebagai perintah untuk melakukan aksi-aksi militer dan diplomasi untuk menggagalkan pembentukan Federasi Malaysia.
Indonesia keluar dari PBB
Indonesia keluar dari PBB pada tahun 1965 sebagai bentuk protes terhadap keputusan PBB yang mengakui Malaysia sebagai anggota baru. Indonesia menilai bahwa PBB telah menjadi alat bagi kepentingan negara-negara Barat yang mendukung neo-kolonialisme dan imperialisme. Indonesia juga merasa bahwa PBB tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah internasional secara adil dan objektif.
Kesimpulan
Demikianlah beberapa kebijakan yang diterapkan oleh Presiden Soekarno pada masa demokrasi terpimpin. Kebijakan-kebijakan tersebut memiliki dampak positif maupun negatif bagi perkembangan bangsa Indonesia. Kebijakan-kebijakan tersebut juga mencerminkan karakteristik pemerintahan demokrasi terpimpin yang berpusat pada kekuasaan Presiden sebagai pemimpin tunggal.