Perayaan sekaten adalah salah satu tradisi budaya yang masih dilestarikan oleh masyarakat Jawa, khususnya di Yogyakarta dan Surakarta. Perayaan ini merupakan rangkaian kegiatan tahunan yang dijadikan sebagai peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Namun, tahukah Anda sejarah, makna, dan tradisi yang terkandung dalam perayaan sekaten?
Sejarah Perayaan Sekaten
Menurut beberapa sumber, perayaan sekaten bermula dari zaman Kesultanan Demak, sebagai salah satu upaya menyiarkan agama Islam di tanah Jawa. Karena orang Jawa saat itu menyukai gamelan, maka pada hari lahirnya Nabi Muhammad SAW, di halaman Masjid Agung Demak dimainkanlah gamelan yang khusus dibuat untuk acara tersebut. Gamelan ini kemudian dikenal sebagai gamelan sekaten.
Gamelan sekaten kemudian diwariskan kepada kerajaan-kerajaan Islam selanjutnya, seperti Mataram, Yogyakarta, dan Surakarta. Di keraton-keraton ini, perayaan sekaten dilakukan dengan lebih meriah dan megah, dengan melibatkan berbagai prosesi dan ritual adat. Perayaan sekaten juga dimeriahkan oleh pasar malam yang disebut sekatenan, yang berlangsung selama sekitar 40 hari.
Makna Perayaan Sekaten
Nama sekaten sendiri berasal dari kata syahadatain, yang berarti persaksian (syahadat) yang dua. Selain itu, ada juga beberapa makna lain yang terkandung dalam kata sekaten, yaitu:
- Sahutain: menghentikan atau menghindari perkara dua, yaitu sifat lacur dan menyeleweng
- Sakhatain: menghilangkan perkara dua, yaitu watak hewan dan sifat setan
- Sakhotain: menanamkan perkara dua, yaitu selalu memelihara budi suci atau budi luhur dan selalu menghambakan diri pada Tuhan
- Sekati: setimbang, orang hidup harus bisa menimbang atau menilai hal-hal yang baik dan buruk
- Sekat: batas, orang hidup harus membatasi diri untuk tidak berbuat jahat serta tahu batas-batas kebaikan dan kejahatan
Dengan demikian, perayaan sekaten tidak hanya sebagai bentuk syukur atas kelahiran Nabi Muhammad SAW, tetapi juga sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas iman dan akhlak bagi umat Islam.
Tradisi Perayaan Sekaten
Perayaan sekaten secara resmi berlangsung dari tanggal 5 sampai 11 Rabi’ul Awal penanggalan Jawa (dapat disetarakan dengan Rabiul Awal penanggalan Hijriah), dan ditutup dengan upacara Grebeg Mulud pada tanggal 12 Rabi’ul Awal. Beberapa tradisi yang dilakukan selama perayaan sekaten adalah:
- Pemindahan gamelan sekaten dari keraton ke halaman Masjid Agung pada tanggal 5 Rabi’ul Awal. Gamelan sekaten terdiri dari dua set gamelan yang bernama Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu di Yogyakarta, serta Kyai Guntursari dan Kyai Nogosari di Surakarta. Gamelan ini dimainkan setiap hari mulai pukul 16.00 sampai 23.00 WIB.
- Pembacaan riwayat hidup Nabi Muhammad SAW di serambi Masjid Agung pada tanggal 11 Rabi’ul Awal. Acara ini dihadiri oleh Sultan beserta pengiringnya serta masyarakat umum.
- Pengembalian gamelan sekaten dari halaman Masjid Agung ke keraton pada tanggal 12 Rabi’ul Awal. Acara ini menandakan berakhirnya perayaan sekaten.
- Grebeg Mulud: arak-arakan gunungan yang berisi hasil bumi dan aneka kue tradisional dari keraton ke Masjid Agung pada tanggal 12 Rabi’ul Awal. Gunungan ini kemudian diperebutkan oleh masyarakat sebagai bentuk berkah.
- Sekatenan: pasar malam yang menyediakan berbagai hiburan dan dagangan di alun-alun Utara keraton. Sekatenan dimulai sejak awal bulan Sapar (Safar) sampai akhir bulan Mulud (Rabiul Awal).
Perayaan sekaten adalah salah satu warisan budaya yang patut dilestarikan dan dipelajari maknanya. Dengan mengikuti perayaan ini, kita dapat merasakan kegembiraan sekaligus kesucian dalam menyambut hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.