Budaya adalah suatu sistem nilai, norma, dan simbol yang dipelajari dan diwariskan oleh anggota masyarakat dari generasi ke generasi. Budaya mencerminkan cara hidup, pandangan dunia, dan identitas suatu kelompok masyarakat. Namun, budaya tidak bersifat monolitik dan statis, melainkan dinamis dan pluralistik. Artinya, budaya dapat berubah seiring dengan perkembangan zaman dan terdapat perbedaan budaya antara kelompok masyarakat yang satu dengan yang lain.
Perbedaan budaya antara kelompok masyarakat dapat menjadi sumber kekayaan dan keragaman, tetapi juga dapat menjadi sumber konflik dan kejahatan. Konflik adalah suatu proses sosial yang melibatkan pertentangan atau persaingan antara dua atau lebih pihak yang memiliki tujuan, kepentingan, atau nilai yang berbeda atau bertentangan. Kejahatan adalah suatu bentuk penyimpangan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok terhadap nilai dan norma atau peraturan perundang-undangan yang berlaku di masyarakat.
Salah satu perspektif yang dapat digunakan untuk menjelaskan peranan suatu budaya diantara kelompok-kelompok yang bertikai dapat mengakibatkan kejahatan adalah teori konflik kebudayaan. Teori konflik kebudayaan adalah kumpulan teori yang menjelaskan peranan suatu bangsa diantara kelompok-kelompok yang bertikai yang ada di masyarakat sehingga dapat mengakibatkan munculnya kejahatan. Berikut ini akan diuraikan secara singkat beberapa teori konflik kebudayaan, yaitu:
Teori Konflik Thorsten Sellin
Sellin menulis sebuah buku tentang konflik kebudayaan pada tahun 1938 yang didasarkan pada konflik norma tingkah laku. Menurutnya, setiap budaya menanamkan norma budaya sendiri (tingkah laku) dan menginternalisasikan norma tersebut dalam diri anggota budaya itu. Norma dipelajari oleh setiap individu dan diatur oleh budaya dimana individu itu berada. Konflik budaya akan muncul manakala aturan itu tidak dipatuhi oleh anggota budaya. Konflik disini mencakup primary conflict dan secondary conflict.
Primary conflict adalah konflik yang terjadi antara kelompok-kelompok yang memiliki norma tingkah laku yang berbeda, misalnya antara kelompok etnis, agama, atau ras. Secondary conflict adalah konflik yang terjadi antara individu-individu yang memiliki norma tingkah laku yang berbeda, misalnya antara orang tua dan anak, guru dan murid, atau atasan dan bawahan.
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa setiap kelompok masyarakat selalu memiliki norma yang mengatur tingkah laku kelompoknya dan digunakan sebagai pedoman dalam hidup bermasyarakat. Apabila ada anggota yang melakukan pelanggaran terhadap norma tersebut, maka yang bersangkutan akan dikenai sanksi. Sanksi dapat berupa hukuman sosial, seperti celaan, ejekan, atau pengucilan, atau hukuman formal, seperti penjara, denda, atau hukuman mati. Pelanggaran norma ini dapat dikategorikan sebagai kejahatan, tergantung pada tingkat keseriusan dan dampaknya terhadap masyarakat.
Teori Konflik Vold
Vold melihat konflik antara kelompok kepentingan yang ada dalam budaya yang sama dan didalam sub kebudayaan. Menurut vold, pada hakikatnya orang mempunyai sifat “group oriented” dan mereka mempunyai kepentingan yang sama bersatu membentuk sebuah kelompok dalam upaya mendorong kepentingan mereka masuk kedalam kancah politik. Berbeda dengan sub kebudayaan, kelompok semacam ini agaknya bersifat sementara. Jadi, hanya ada dan tetap ada selama masih dikehendaki untuk mencapai tujuan yang diharapkan mereka. Dengan adanya berbagai kelompok itu seringkali mempunyai banyak kepentingan dan acapkali kepentingan itu bertentangan satu dengan yang lain. Ketidaksesuaian atau pertentangan inilah yang menimbulkan konflik.
Konflik antara kelompok kepentingan ini dapat berujung pada kekerasan atau kejahatan, apabila salah satu pihak merasa tidak puas atau tidak mendapatkan haknya. Misalnya, konflik antara buruh dan pengusaha, petani dan pemerintah, atau mahasiswa dan aparat. Kejahatan yang dilakukan oleh kelompok kepentingan ini dapat berupa demonstrasi, mogok kerja, pembakaran, perusakan, atau penyerangan.
Teori Konflik Dahrendorf dan Turk
Kedua tokoh ini memfokuskan pada hubungan antara otoritas dan subordinasi. Bagi Dahrendorf, kekuasaan adalah faktor yang dianggap penting. Sebaliknya bagi Turk, kekuasaan didasarkan pada status sosial. Dahrendorf memandang persoalan dari konflik karena adanya perbedaan kekuasaan, dan khususnya dalam distribusi otoritas. Seluruh masyarakat yang sehat membutuhkan perbedaan dalam tingkat kekuasaan atau otoritas individu, sehingga norma atau aturan budaya dapat dijalankan. Turk juga mengakui bahwa konflik sosial merupakan bagian yang nyata dan tidak dapat dielakkan dari kehidupan sosial, di mana seseorang harus berada dalam otoritas, apabila tidak ada konflik dalam tatanan sosial.
Konflik antara otoritas dan subordinasi ini dapat menimbulkan kejahatan, apabila salah satu pihak merasa tidak adil atau tidak dihormati. Misalnya, konflik antara penguasa dan rakyat, guru dan murid, atau polisi dan masyarakat. Kejahatan yang dilakukan oleh otoritas atau subordinasi ini dapat berupa korupsi, penyalahgunaan wewenang, pelanggaran HAM, atau perlawanan terhadap hukum.
Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa peranan suatu budaya diantara kelompok-kelompok yang bertikai dapat mengakibatkan kejahatan. Hal ini dapat dijelaskan dengan menggunakan perspektif teori konflik kebudayaan, yang melihat konflik sebagai akibat dari perbedaan atau pertentangan antara norma, kepentingan, atau kekuasaan yang ada dalam masyarakat. Kejahatan adalah salah satu bentuk ekspresi dari konflik tersebut, yang dapat berdampak negatif bagi kehidupan sosial.