Indonesia telah mengalami berbagai perubahan sistem politik sejak kemerdekaannya pada tahun 1945. Salah satu periode yang menarik untuk dikaji adalah masa Orde Lama, yang berlangsung dari tahun 1945 hingga 1966. Pada masa ini, Indonesia dipimpin oleh Presiden Soekarno, yang dikenal sebagai Bapak Proklamator dan Bapak Bangsa.
Pada masa Orde Lama, terdapat dua fase politik yang berbeda, yaitu fase demokrasi liberal dan fase demokrasi terpimpin. Fase demokrasi liberal berlangsung dari tahun 1950 hingga 1959, sedangkan fase demokrasi terpimpin berlangsung dari tahun 1959 hingga 1966. Fase demokrasi liberal merupakan sebutan lain dari sistem demokrasi parlementer, yang didasarkan pada konstitusi RIS tahun 1949. Fase demokrasi terpimpin merupakan sebutan lain dari sistem demokrasi presidensial, yang didasarkan pada konstitusi UUDS 1950.
Pada artikel ini, kita akan membahas mengapa pada masa Orde Lama, khususnya pada periode demokrasi liberal, kondisi politik Indonesia cenderung dalam keadaan yang tidak stabil. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal ini, antara lain:
Sistem Multipartai
Salah satu ciri khas dari sistem demokrasi liberal adalah adanya sistem multipartai, yang berarti terdapat banyak partai politik yang berkompetisi dalam pemilihan umum. Pada masa demokrasi liberal, Indonesia memiliki lebih dari 28 partai politik, yang mewakili berbagai ideologi, agama, dan kepentingan. Beberapa partai politik besar yang ada saat itu adalah Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Masyumi, Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Sistem multipartai ini sebenarnya bertujuan untuk menciptakan perwakilan rakyat yang luas dan pluralis. Namun, pada kenyataannya, sistem ini justru menimbulkan masalah-masalah politik, seperti:
- Sulitnya membentuk pemerintahan yang stabil dan efektif, karena tidak ada satu partai pun yang memiliki mayoritas suara di parlemen. Hal ini menyebabkan sering terjadinya koalisi antarpartai yang rapuh dan mudah bubar. Pada masa demokrasi liberal, Indonesia telah mengalami pergantian kabinet sebanyak tujuh kali dalam kurun waktu sembilan tahun. Beberapa kabinet yang ada saat itu adalah Kabinet Natsir, Kabinet Wilopo, Kabinet Ali Sastroamijoyo I dan II, Kabinet Burhanuddin Harahap, dan Kabinet Djuanda.
- Tidak adanya kesepakatan antarpartai mengenai isu-isu penting yang berkaitan dengan nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme. Hal ini menyebabkan adanya perpecahan dan pertentangan di dalam tubuh bangsa. Beberapa isu yang menjadi sumber konflik antara lain adalah masalah Irian Barat, masalah hubungan dengan Belanda, masalah hubungan dengan negara-negara blok Barat dan Timur, masalah agraria dan ekonomi rakyat, dan masalah kekuasaan presiden.
- Adanya intervensi dari pihak luar negeri, terutama dari Amerika Serikat dan Uni Soviet, yang mencoba mempengaruhi jalannya politik Indonesia sesuai dengan kepentingan mereka. Hal ini menyebabkan adanya campur tangan asing dalam urusan dalam negeri Indonesia, yang mengancam kedaulatan dan kemerdekaan bangsa. Beberapa contoh dari intervensi asing ini adalah adanya bantuan militer dan ekonomi dari Amerika Serikat kepada partai-partai yang anti-komunis, seperti Masyumi dan PSI, dan adanya bantuan ideologis dan organisatoris dari Uni Soviet kepada partai-partai yang pro-komunis, seperti PKI.
Kekuatan Presiden
Faktor lain yang menyebabkan ketidakstabilan politik pada masa demokrasi liberal adalah kekuatan presiden. Meskipun sistem demokrasi liberal seharusnya memberikan keseimbangan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif, namun pada kenyataannya, Presiden Soekarno memiliki pengaruh yang sangat besar dalam politik Indonesia. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
- Karisma dan popularitas Soekarno sebagai pemimpin revolusi dan proklamator kemerdekaan, yang membuatnya dihormati dan dicintai oleh rakyat Indonesia. Soekarno juga memiliki kemampuan berpidato yang luar biasa, yang membuatnya mampu membangkitkan semangat nasionalisme dan patriotisme di kalangan rakyat.
- Kedudukan Soekarno sebagai presiden seumur hidup, yang diberikan oleh Konstituante pada tahun 1959. Hal ini membuatnya tidak perlu lagi menghadapi pemilihan umum dan tidak bisa digantikan oleh siapa pun. Soekarno juga memiliki hak prerogatif untuk membubarkan parlemen dan membentuk kabinet sesuai dengan kehendaknya.
- Konsep Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis), yang dicetuskan oleh Soekarno sebagai dasar politik Indonesia. Konsep ini bertujuan untuk menyatukan seluruh elemen bangsa dalam satu kesatuan ideologis, tanpa membedakan latar belakang politik, agama, atau sosial. Namun, konsep ini justru menimbulkan masalah, karena tidak semua partai politik bersedia untuk bekerja sama dengan PKI, yang dianggap sebagai ancaman bagi ideologi dan kepentingan mereka. Konsep Nasakom juga membuat Soekarno semakin dekat dengan PKI, yang kemudian menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya Gerakan 30 September 1965.
Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pada masa Orde Lama, khususnya pada periode demokrasi liberal, kondisi politik Indonesia cenderung dalam keadaan yang tidak stabil. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain sistem multipartai, kekuatan presiden, dan intervensi asing. Ketidakstabilan politik ini kemudian berujung pada runtuhnya Orde Lama dan lahirnya Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto.