Demokrasi Pancasila adalah sistem pemerintahan yang berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Demokrasi Pancasila menghargai hak asasi manusia, persatuan dan kesatuan bangsa, keadilan sosial, kedaulatan rakyat, dan keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Pada masa Orde Baru (1966-1998), pemerintahan di bawah Presiden Soeharto mengklaim bahwa mereka melaksanakan Demokrasi Pancasila secara murni dan konsekuen. Namun, dalam praktiknya, banyak terjadi penyimpangan terhadap nilai-nilai Pancasila yang seharusnya menjadi landasan demokrasi.
Beberapa penyimpangan yang terjadi pada masa Orde Baru antara lain adalah:
- Penindasan terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi. Pemerintah Orde Baru mengontrol media massa, organisasi kemasyarakatan, partai politik, dan gerakan mahasiswa. Siapa pun yang berani mengkritik atau menentang kebijakan pemerintah akan dianggap sebagai musuh negara dan diberangus dengan cara-cara represif. Banyak aktivis, jurnalis, seniman, dan tokoh-tokoh yang menjadi korban penangkapan, pembunuhan, penculikan, atau penghilangan paksa.
- Pemusatan kekuasaan di tangan Presiden. Pemerintah Orde Baru mengubah sistem pemerintahan menjadi otoriter dan sentralistik. Presiden Soeharto memiliki wewenang yang sangat besar dalam menentukan kebijakan negara, mengangkat dan memberhentikan pejabat, membentuk lembaga-lembaga negara, dan mengintervensi lembaga-lembaga lain seperti DPR, MPR, MA, dan MK. Presiden Soeharto juga memanfaatkan Golkar sebagai kendaraan politiknya untuk memenangkan pemilu secara curang dan mempertahankan kekuasaannya.
- Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Pemerintah Orde Baru tidak transparan dan akuntabel dalam pengelolaan keuangan negara. Banyak kasus korupsi yang melibatkan pejabat-pejabat tinggi negara, keluarga, dan kroni-kroni Presiden Soeharto. Pemerintah Orde Baru juga melakukan kolusi dengan pihak-pihak asing, seperti perusahaan multinasional, lembaga keuangan internasional, dan negara-negara donor. Selain itu, pemerintah Orde Baru juga melakukan nepotisme dengan memberikan perlakuan istimewa kepada keluarga dan kerabat Presiden Soeharto dalam hal jabatan, bisnis, dan hak-hak lainnya.
- Pengabaian terhadap hak-hak rakyat. Pemerintah Orde Baru tidak memperhatikan kesejahteraan rakyat, terutama rakyat miskin dan tertindas. Pemerintah Orde Baru lebih mementingkan pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan dan investasi, tanpa memperhatikan distribusi dan pemerataan. Akibatnya, terjadi kesenjangan sosial yang semakin lebar antara kaya dan miskin, pusat dan daerah, Jawa dan luar Jawa. Pemerintah Orde Baru juga tidak menghormati hak-hak asasi manusia, terutama hak-hak sipil dan politik. Banyak kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada masa Orde Baru, seperti pembantaian massal 1965-1966, tragedi Tanjung Priok 1984, tragedi Talangsari 1989, tragedi Santa Cruz 1991, dan tragedi Trisakti dan Semanggi 1998.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pada masa Orde Baru demokrasi yang dilaksanakan tidak sesuai dengan demokrasi Pancasila karena terjadi banyak penyimpangan terhadap nilai-nilai Pancasila. Demokrasi Pancasila yang seharusnya menjadi jalan tengah antara demokrasi liberal dan demokrasi sosialis, malah menjadi demokrasi otoriter dan koruptif. Demokrasi Pancasila yang seharusnya menjadi alat untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia, malah menjadi alat untuk mempertahankan kekuasaan segelintir orang.
Oleh karena itu, perlu adanya perubahan dan reformasi dalam sistem politik Indonesia agar demokrasi yang dilaksanakan sesuai dengan demokrasi Pancasila. Perubahan dan reformasi tersebut harus didasarkan pada semangat reformasi 1998 yang menuntut adanya supremasi hukum, penegakan HAM, desentralisasi kekuasaan, pemberantasan KKN, dan partisipasi rakyat.