Mengapa Jual Beli Tanah dengan Akta di Bawah Tangan Tidak Dapat Diterima Menurut Hukum?

Mengapa Jual Beli Tanah dengan Akta di Bawah Tangan Tidak Dapat Diterima Menurut Hukum?

Posted on

Jual beli tanah adalah salah satu transaksi yang sering terjadi di masyarakat. Namun, tidak semua transaksi jual beli tanah dilakukan dengan prosedur yang benar dan sah menurut hukum. Banyak masyarakat yang masih melakukan jual beli tanah dengan akta di bawah tangan, yaitu perjanjian jual beli yang dibuat tanpa melibatkan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan hanya disaksikan oleh kepala desa atau camat.

Jual beli tanah dengan akta di bawah tangan mungkin terlihat lebih mudah, murah, dan cepat. Namun, sebenarnya ada banyak risiko dan akibat hukum yang dapat timbul dari praktik ini. Berikut adalah beberapa alasan mengapa jual beli tanah tidak dapat dilakukan dengan akta di bawah tangan:

1. Dasar Hukum Lemah

Menurut Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), peralihan hak atas tanah wajib dilakukan dengan akta otentik yang dibuat oleh PPAT. Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang dan memenuhi syarat-syarat tertentu. Akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan dapat dijadikan dasar pendaftaran tanah.

Baca Juga:  Apa yang Bisa Kamu Lakukan untuk Menunjukkan Dukungan Terhadap Pemerintah dalam Menjaga Keutuhan NKRI

Sedangkan akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat oleh para pihak tanpa melalui pejabat umum yang berwenang. Akta di bawah tangan hanya memiliki kekuatan pembuktian yang terbatas dan tidak dapat dijadikan dasar pendaftaran tanah. Akta di bawah tangan juga mudah dipalsukan, dimanipulasi, atau disengketakan oleh pihak ketiga.

2. Jual Beli Tanah Tidak Sah

Menurut Pasal 19 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, peralihan hak atas tanah harus didaftarkan ke Kantor Pertanahan setempat. Pendaftaran tanah adalah kegiatan pencatatan data, informasi, dan dokumen tentang tanah dan pemberian bukti hak atas tanah berupa sertifikat. Pendaftaran tanah bertujuan untuk memberikan kepastian hukum, perlindungan hukum, dan kemudahan dalam bertransaksi.

Jika jual beli tanah dilakukan dengan akta di bawah tangan, maka peralihan hak atas tanah tidak dapat didaftarkan ke Kantor Pertanahan. Hal ini berarti jual beli tanah tersebut tidak sah menurut hukum pertanahan dan tidak menghasilkan bukti hak yang kuat berupa sertifikat. Jika tidak ada sertifikat, maka pembeli tanah tidak memiliki hak yang melekat pada tanah tersebut dan tidak dapat menikmati manfaat dari tanah tersebut secara penuh.

Baca Juga:  Mengapa Aceh Disebut sebagai Serambi Mekkah?

3. Berisiko Terjadi Sengketa Tanah

Jual beli tanah dengan akta di bawah tangan sangat berisiko terjadi sengketa tanah di kemudian hari. Sengketa tanah dapat timbul karena berbagai faktor, seperti adanya klaim dari pihak ketiga yang mengaku memiliki hak atas tanah yang sama, adanya kesalahan dalam penentuan batas-batas tanah, adanya cacat hukum pada akta jual beli, atau adanya penipuan dari salah satu pihak.

Jika terjadi sengketa tanah, maka akta di bawah tangan tidak dapat dijadikan alat bukti yang kuat di pengadilan. Akta di bawah tangan harus dibuktikan dengan alat bukti lain, seperti kesaksian, surat, atau petunjuk. Hal ini tentu akan mempersulit pembeli tanah untuk membela haknya dan menyelesaikan sengketa tanah secara adil.

Kesimpulan

Jual beli tanah dengan akta di bawah tangan adalah praktik yang tidak dapat diterima menurut hukum pertanahan. Jual beli tanah dengan akta di bawah tangan memiliki dasar hukum yang lemah, tidak sah, dan berisiko terjadi sengketa tanah. Oleh karena itu, jual beli tanah harus dilakukan dengan akta otentik yang dibuat oleh PPAT dan didaftarkan ke Kantor Pertanahan. Dengan demikian, jual beli tanah akan berjalan dengan lancar, aman, dan sah.

Pos Terkait:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *