Keumalahayati: Laksamana Wanita Pertama di Dunia yang Melawan Penjajah

Keumalahayati: Laksamana Wanita Pertama di Dunia yang Melawan Penjajah

Posted on

Keumalahayati, atau Malahayati, adalah seorang laksamana wanita pertama di dunia yang berasal dari Kesultanan Aceh. Ia lahir pada tahun 1550 dan merupakan keturunan dari Sultan Salahuddin Syah, pendiri Kerajaan Aceh Darussalam. Ayahnya, Laksamana Mahmud Syah, dan kakeknya, Laksamana Muhammad Said Syah, juga merupakan panglima angkatan laut yang berjasa bagi Aceh

Keumalahayati menempuh pendidikan militer jurusan angkatan laut di akademi Baitul Maqdis, sebuah lembaga pendidikan istana yang mengajarkan ilmu-ilmu agama, hukum, bahasa, sejarah, dan kemiliteran. Ia lulus dengan predikat terbaik dan mendapat kepercayaan dari Sultan Alauddin Riayat Syah IV untuk menjadi Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah pada tahun 1585

Keumalahayati menikah dengan Laksamana Zainal Abidin, seorang perwira angkatan laut yang berani dan gagah. Namun, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama. Pada tahun 1599, Laksamana Zainal Abidin gugur dalam pertempuran melawan armada Portugis di Teluk Haru. Keumalahayati merasa sangat sedih dan marah atas kematian suaminya. Ia pun meminta izin kepada Sultan untuk membentuk pasukan khusus yang terdiri dari janda-janda prajurit Aceh yang gugur dalam peperangan. Pasukan ini diberi nama Inong Balee, yang berarti wanita janda.

Baca Juga:  Kebijakan Politik Etis: Balas Budi Belanda kepada Indonesia

Keumalahayati menjabat sebagai laksamana dan memiliki tugas untuk memimpin pasukan Inong Balee dalam melawan penjajah yang mengancam kedaulatan Aceh. Ia berhasil membuktikan keberanian dan kecerdasannya dalam berbagai pertempuran laut. Salah satu prestasinya yang paling terkenal adalah ketika ia mengalahkan dan membunuh Cornelis de Houtman, seorang komandan ekspedisi Belanda yang menghina Sultan Aceh dan menyerang benteng-benteng Aceh pada tanggal 11 September 1599. Keumalahayati menantang de Houtman untuk bertarung satu lawan satu di geladak kapal dan berhasil menusuk jantungnya dengan keris. Atas perbuatannya ini, ia mendapat gelar Laksamana Malahayati dari Sultan Aceh.

Keumalahayati juga berperan penting dalam menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara lain. Pada tahun 1601, ia menegosiasikan perjanjian damai dengan Belanda setelah mereka membayar ganti rugi sebesar 50 ribu gulden atas perampokan kapal dagang Aceh oleh Paulus van Caerden. Ia juga membebaskan tawanan Belanda yang ditahan oleh Aceh sebagai tanda persahabatan. Pada tahun yang sama, ia menerima surat dari Ratu Elizabeth I dari Inggris yang dibawa oleh James Lancaster untuk membuka jalur perdagangan Inggris di Jawa. Keumalahayati menyambut baik permintaan Inggris dan menyetujui perjanjian tersebut.

Keumalahayati gugur sebagai pahlawan pada tanggal 30 Juni 1615 dalam usia 65 tahun. Ia tewas dalam pertempuran melawan armada Portugis yang dipimpin oleh Laksamana Martim Afonso de Castro di Teluk Krueng Raya. Jenazahnya dimakamkan di bukit Krueng Raya, Lamreh, Aceh Besar.

Baca Juga:  Pendidikan Model Belanda: Apakah Efektif untuk Membangun Indonesia?

Keumalahayati adalah sosok wanita yang luar biasa. Ia merupakan laksamana wanita pertama di dunia yang berani melawan penjajah dan membela tanah airnya. Ia juga merupakan tokoh yang cerdas dan berwibawa dalam menjaga hubungan baik dengan negara-negara lain. Ia pantas menjadi inspirasi bagi generasi muda Indonesia, khususnya perempuan, untuk terus berjuang dan berkarya bagi bangsa dan negara.

Pos Terkait:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *