Sulawesi adalah salah satu pulau besar di Indonesia yang memiliki sejarah panjang dan kaya. Di pulau ini, pernah berdiri banyak kerajaan-kerajaan yang beragam budaya dan agama. Salah satu kerajaan yang paling terkenal dan berpengaruh adalah Kerajaan Gowa Tallo atau Kesultanan Makassar.
Sejarah Berdirinya Kerajaan Gowa Tallo
Kerajaan Gowa Tallo merupakan gabungan dari dua kerajaan kecil yang awalnya bersaing, yaitu Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo. Kedua kerajaan ini terletak di daerah pesisir selatan Sulawesi, yang kaya akan sumber daya alam dan menjadi jalur perdagangan antara timur dan barat.
Pada abad ke-16, Kerajaan Gowa dipimpin oleh Karaeng Tumapa’risi’ Kallonna, yang dikenal sebagai raja yang bijaksana dan berani. Ia berhasil memperluas wilayah kekuasaannya dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan tetangga, seperti Maros, Somba Opu, Bantaeng, Jeneponto, dan lain-lain.
Sementara itu, Kerajaan Tallo dipimpin oleh Karaeng Matoaya, yang merupakan saudara sepupu dari Karaeng Tumapa’risi’ Kallonna. Ia juga memiliki visi yang sama untuk memajukan daerahnya dengan mengembangkan perdagangan dan hubungan diplomatik dengan bangsa-bangsa asing, seperti Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda, Arab, Persia, India, dan Cina.
Pada tahun 1593, kedua kerajaan ini sepakat untuk bersatu menjadi satu kesatuan politik yang disebut Gowa Tallo. Kesepakatan ini didasarkan pada hubungan kekerabatan dan kesamaan kepentingan antara kedua raja. Selain itu, mereka juga menyadari bahwa dengan bersatu mereka akan lebih kuat untuk menghadapi ancaman dari luar.
Masuknya Islam ke Kerajaan Gowa Tallo
Sebelum bersatu menjadi Kerajaan Gowa Tallo, kedua kerajaan ini menganut agama animisme dan dinamisme, yaitu percaya pada roh-roh alam dan nenek moyang. Namun, sejak abad ke-15, pengaruh Islam mulai masuk ke Sulawesi melalui para pedagang dan ulama yang datang dari Malaka, Jawa, Sumatera, dan Nusantara lainnya.
Pada tahun 1605, Karaeng Matoaya dari Tallo memeluk Islam setelah mendapat pengaruh dari seorang ulama bernama Dato ri Bandang. Ia kemudian mengajak Karaeng Tumapa’risi’ Kallonna dari Gowa untuk mengikuti jejaknya. Kedua raja ini kemudian berganti nama menjadi Sultan Alauddin dan Sultan Abdullah, serta mengubah nama kerajaannya menjadi Kesultanan Makassar.
Dengan masuknya Islam ke Kerajaan Gowa Tallo, terjadi perubahan besar dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Islam menjadi agama resmi kerajaan dan dasar hukum negara. Selain itu, Islam juga membawa pengaruh positif dalam bidang sosial, budaya, ekonomi, politik, militer, dan pendidikan.
Kejayaan dan Kemunduran Kerajaan Gowa Tallo
Di bawah kepemimpinan Sultan Alauddin dan Sultan Abdullah, Kerajaan Gowa Tallo mencapai puncak kejayaannya. Kerajaan ini berhasil menguasai hampir seluruh wilayah Sulawesi Selatan dan sebagian Sulawesi Tengah. Kerajaan ini juga menjadi pusat perdagangan terbesar di Nusantara Timur dan memiliki hubungan baik dengan berbagai negara di Asia dan Eropa.
Namun, kejayaan Kerajaan Gowa Tallo tidak berlangsung lama. Pada abad ke-17, kerajaan ini menghadapi tantangan dari VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) atau Perusahaan Hindia Timur Belanda, yang ingin menguasai perdagangan rempah-rempah di Nusantara. VOC berusaha untuk mengadu domba kerajaan-kerajaan di Sulawesi dengan memberikan bantuan senjata dan uang kepada musuh-musuh Gowa Tallo.
Salah satu musuh Gowa Tallo yang dibantu oleh VOC adalah Kesultanan Bone, yang dipimpin oleh Arung Palakka. Ia merupakan mantan bawahan Sultan Alauddin yang memberontak karena tidak puas dengan perlakuan raja. Arung Palakka kemudian bergabung dengan VOC untuk melawan Gowa Tallo.
Perang antara Gowa Tallo dan VOC-Bone berlangsung selama beberapa tahun dengan sengit. Pada tahun 1667, Sultan Alauddin meninggal dunia dan digantikan oleh putranya yang bernama Sultan Hasanuddin. Ia dikenal sebagai raja yang gagah berani dan berani melawan penjajah Belanda.
Namun, pada tahun 1669, Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani perjanjian damai dengan VOC-Bone yang disebut Perjanjian Bongaya. Perjanjian ini sangat merugikan bagi Gowa Tallo karena harus melepaskan sebagian besar wilayahnya kepada VOC-Bone serta membayar ganti rugi perang. Selain itu, perjanjian ini juga melarang Gowa Tallo untuk menjalin hubungan dagang dengan negara-negara lain selain VOC.
Perjanjian Bongaya menandai awal kemunduran Kerajaan Gowa Tallo. Kerajaan ini semakin melemah karena terus menerus mendapat tekanan dari VOC-Bone serta pemberontakan dari rakyatnya sendiri. Pada akhirnya, pada tahun 1946, Kerajaan Gowa Tallo resmi bergabung dengan Republik Indonesia yang merdeka.
Peninggalan Kerajaan Gowa Tallo
Meskipun sudah tidak ada lagi sebagai sebuah kerajaan, namun Kerajaan Gowa Tallo meninggalkan banyak peninggalan berharga bagi bangsa Indonesia. Beberapa peninggalannya antara lain:
- Benteng Somba Opu, yaitu sebuah benteng pertahanan yang dibangun oleh Sultan Alauddin pada tahun 1525. Benteng ini menjadi saksi bisu perjuangan rakyat Makassar melawan penjajah Belanda.
- Benteng Ujung Pandang, yaitu sebuah benteng pertahanan yang dibangun oleh Sultan Hasanuddin pada tahun 1667. Benteng ini juga menjadi tempat perlawanan Sultan Hasanuddin terhadap VOC-Bone.
- Makam Ratu Soppé, yaitu sebuah makam yang terletak di Desa Soppéng Riaja Kabupaten Barru Sulawesi Selatan. Makam ini merupakan tempat peristirahatan terakhir Ratu Soppé atau I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bontoala’, istri pertama Sultan Hasanuddin.
- Masjid Katangka, yaitu sebuah masjid tua yang dibangun oleh Sultan Alauddin pada tahun 1603. Masjid ini merupakan salah satu masjid tertua di Indonesia yang masih berdiri sampai sekarang.
- Museum Balla Lompoa, yaitu sebuah museum yang terletak di Desa Sungguminasa Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan. Museum ini merupakan bekas istana kerajaan Gowa Tallo yang dibangun pada abad ke-19.