Pada 17 Maret 2021, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk memperpanjang masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga lima tahun ke depan. Keputusan ini cukup mengejutkan karena sebelumnya sudah ada aturan bahwa masa jabatan pimpinan KPK hanya tiga tahun dan tidak bisa diperpanjang.
Keputusan MK ini sendiri diambil setelah pimpinan KPK yang saat itu dipimpin oleh Firli Bahuri mengajukan permohonan uji materi atas Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Alasan Permohonan Uji Materi
Permohonan uji materi tersebut diajukan karena menurut pimpinan KPK, Pasal 43 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2019 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menjamin hak setiap warga negara untuk menduduki jabatan publik tanpa diskriminasi.
Dalam Pasal 43 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2019 disebutkan bahwa masa jabatan pimpinan KPK hanya tiga tahun dan tidak bisa diperpanjang. Sementara itu, dalam UU lain seperti UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, masa jabatan menteri bisa diperpanjang hingga dua kali atau enam tahun.
Dalam permohonan uji materi, pimpinan KPK juga mengatakan bahwa ketentuan tersebut membuat pimpinan KPK menjadi diskriminatif karena jabatan pimpinan lembaga lain bisa diperpanjang sedangkan pimpinan KPK tidak bisa. Selain itu, pimpinan KPK juga khawatir bahwa ketentuan tersebut bisa menghambat kinerja KPK dalam memberantas korupsi.
Keputusan MK
Setelah mempertimbangkan argumen dari pimpinan KPK dan pihak-pihak terkait, MK akhirnya memutuskan untuk mengabulkan permohonan uji materi tersebut. Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2019 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
Oleh karena itu, MK memutuskan untuk menghapus Pasal 43 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2019 dan menggantinya dengan ketentuan bahwa masa jabatan pimpinan KPK adalah lima tahun dan bisa diperpanjang satu kali selama lima tahun. Artinya, masa jabatan pimpinan KPK bisa mencapai maksimal sepuluh tahun.
Reaksi dari Berbagai Pihak
Keputusan MK untuk memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK tentu saja menuai berbagai reaksi dari berbagai pihak. Ada yang setuju dengan keputusan tersebut, namun ada juga yang tidak setuju.
Di antara yang setuju adalah Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango. Menurut Nawawi, keputusan MK tersebut bisa membantu KPK dalam memperkuat kinerjanya. Selain itu, Nawawi juga mengatakan bahwa lima tahun adalah masa jabatan yang ideal untuk menyelesaikan berbagai kasus korupsi.
Sementara itu, ada juga yang tidak setuju dengan keputusan MK tersebut. Salah satunya adalah mantan Wakil Ketua KPK, Laode M. Syarif. Menurut Laode, keputusan MK tersebut bisa mengancam independensi KPK karena pimpinan KPK yang ada sekarang sudah terlalu dekat dengan pemerintah.
Kesimpulan
Keputusan dari MK untuk memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK memang cukup mengejutkan. Namun, keputusan tersebut diambil setelah mempertimbangkan berbagai argumen dari pimpinan KPK dan pihak-pihak terkait.
Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2019 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, MK memutuskan untuk menghapus Pasal 43 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2019 dan menggantinya dengan ketentuan bahwa masa jabatan pimpinan KPK adalah lima tahun dan bisa diperpanjang satu kali selama lima tahun.
Keputusan ini tentu saja menuai berbagai reaksi dari berbagai pihak. Namun, yang terpenting adalah bagaimana KPK bisa memanfaatkan masa jabatan yang diperpanjang ini untuk semakin memperkuat kinerjanya dalam memberantas korupsi di Indonesia.