Salah satu ciri khas dari pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto adalah adanya kebijakan penyederhanaan atau pengerucutan jumlah partai politik. Kebijakan ini dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan stabilitas politik dan keamanan nasional, serta untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam penyaluran aspirasi masyarakat.
Latar Belakang Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik
Kebijakan penyederhanaan partai politik pada masa Orde Baru tidak terlepas dari kondisi politik yang terjadi sebelumnya, yaitu pada masa Demokrasi Liberal (1950-1959) dan Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Pada masa Demokrasi Liberal, terdapat banyak partai politik yang beragam ideologi dan kepentingan, sehingga menimbulkan persaingan dan konflik yang sengit. Hal ini mengakibatkan lemahnya pemerintahan, tidak tercapainya konsensus nasional, dan terhambatnya pembangunan.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno mencoba untuk mengatasi masalah tersebut dengan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan parlemen dan mengembalikan UUD 1945 sebagai dasar negara. Selain itu, Soekarno juga membentuk konsep Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis) sebagai landasan ideologi negara. Namun, konsep Nasakom justru menimbulkan ketegangan antara kelompok-kelompok politik yang berseberangan, terutama antara komunis dan anti-komunis. Hal ini mencapai puncaknya pada peristiwa G30S/PKI pada tahun 1965 yang menewaskan enam jenderal angkatan darat dan mencoba untuk merebut kekuasaan.
Peristiwa G30S/PKI ini dimanfaatkan oleh Jenderal Soeharto untuk mengambil alih kepemimpinan dari Soekarno dengan mendapat mandat dari Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun 1966. Soeharto kemudian membentuk pemerintahan Orde Baru yang berusaha untuk menghapus pengaruh komunis dan menyelamatkan negara dari krisis politik dan ekonomi. Salah satu langkah yang diambil oleh Soeharto adalah melakukan penyederhanaan partai politik.
Proses Penyederhanaan Partai Politik
Proses penyederhanaan partai politik pada masa Orde Baru dilakukan secara bertahap melalui beberapa tahapan, yaitu:
- Tahap pertama adalah pembubaran partai-partai politik yang berhaluan komunis atau sosialis, seperti PKI, Murba, IPKI, dan PSI. Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa partai-partai tersebut telah terlibat dalam peristiwa G30S/PKI atau mendukung gerakan subversif. Selain itu, pemerintah juga melarang segala bentuk aktivitas politik yang berbau komunis atau sosialis.
- Tahap kedua adalah penyelenggaraan pemilu tahun 1971 yang diikuti oleh sepuluh partai politik yang masih tersisa, yaitu PNI, NU, Parmusi, Perti, PSII, Partai Katolik, Parkindo, Partai Kristen Indonesia (Parki), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), dan Golongan Karya (Golkar). Pemilu ini dimenangkan oleh Golkar dengan perolehan suara sebesar 62,8%, diikuti oleh NU dengan 21,2%, dan PNI dengan 10%. Hasil pemilu ini menunjukkan bahwa Golkar sebagai wadah politik pemerintah memiliki dominasi yang kuat atas partai-partai lain.
- Tahap ketiga adalah penggabungan partai-partai politik menjadi dua partai saja melalui Sidang Umum MPR tahun 1973. Penggabungan ini dilakukan dengan alasan untuk memudahkan pengendalian partai politik oleh pemerintah dan untuk mencegah terjadinya konflik antarpartai. Penggabungan ini menghasilkan dua partai baru, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan gabungan dari NU, Parmusi, Perti, PSII, dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan dari PNI, Partai Katolik, Parkindo, Parki, dan IPKI.
- Tahap keempat adalah pembatasan aktivitas politik partai-partai politik melalui berbagai aturan dan regulasi. Beberapa contoh aturan tersebut adalah larangan bagi anggota partai untuk menjadi anggota organisasi lain selain organisasi massa binaan partainya sendiri; larangan bagi anggota partai untuk melakukan kritik terhadap pemerintah; larangan bagi anggota partai untuk melakukan kampanye di luar masa kampanye; larangan bagi anggota partai untuk menggunakan simbol-simbol agama dalam aktivitas politik; dan larangan bagi anggota partai untuk melakukan aksi demonstrasi atau unjuk rasa.
Dampak Penyederhanaan Partai Politik
Dampak dari kebijakan penyederhanaan partai politik pada masa Orde Baru dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu:
- Aspek positif: Kebijakan ini berhasil menciptakan stabilitas politik dan keamanan nasional yang kondusif bagi pembangunan ekonomi dan sosial. Kebijakan ini juga berhasil menekan pengaruh komunis dan radikalisme agama yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Kebijakan ini juga berhasil meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam penyaluran aspirasi masyarakat melalui sistem representasi proporsional.
- Aspek negatif: Kebijakan ini mengurangi ruang demokrasi dan hak-hak sipil masyarakat dalam berpartisipasi politik. Kebijakan ini juga menghilangkan pluralisme dan keragaman ideologi dalam sistem politik Indonesia. Kebijakan ini juga menyebabkan stagnasi dan degradasi kualitas partai politik sebagai lembaga perwakilan rakyat. Kebijakan ini juga menyebabkan dominasi Golkar sebagai wadah politik pemerintah atas partai-partai lain.
Kesimpulan
Kebijakan penyederhanaan atau pengerucutan jumlah partai politik adalah salah satu kebijakan yang diterapkan pada masa Orde Baru dengan tujuan untuk menciptakan stabilitas politik dan keamanan nasional serta meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam penyaluran aspirasi masyarakat. Kebijakan ini dilakukan secara bertahap melalui beberapa tahapan mulai dari pembubaran hingga penggabungan partai-partai politik menjadi dua saja yaitu PPP dan PDI. Kebijakan ini memiliki dampak positif maupun negatif bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.