Hasil Karya Sastra Zaman Majapahit Akhir yang Isinya Menceritakan Perang Bubat adalah Kitab

Hasil Karya Sastra Zaman Majapahit Akhir yang Isinya Menceritakan Perang Bubat adalah Kitab

Posted on

Perang Bubat adalah salah satu peristiwa sejarah yang menggemparkan Nusantara pada abad ke-14 Masehi. Perang ini terjadi antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Majapahit, yang dipicu oleh rencana perkawinan politik antara Raja Hayam Wuruk dengan Dyah Pitaloka Citraresmi, putri Raja Sunda Prabu Linggabuana.

Perang ini berakhir dengan tragis, karena seluruh rombongan Kerajaan Sunda yang datang ke Majapahit untuk menghadiri pernikahan tersebut dibantai oleh pasukan Majapahit yang dipimpin oleh Patih Gajah Mada. Dyah Pitaloka sendiri bunuh diri dengan menikam jantungnya menggunakan keris, karena tidak mau menikahi Hayam Wuruk setelah keluarganya dibunuh.

Peristiwa Perang Bubat ini tidak hanya menjadi catatan sejarah, tetapi juga menginspirasi beberapa karya sastra yang ditulis pada zaman Majapahit akhir. Karya sastra tersebut antara lain adalah:

Kitab Pararaton

Kitab Pararaton adalah sebuah kitab naskah sastra Jawa Pertengahan yang digubah dalam bahasa Jawa Kawi. Kitab ini berisi riwayat raja-raja Singasari dan Majapahit, mulai dari Ken Arok hingga Wikramawardhana.

Kitab Pararaton menyebutkan bahwa Perang Bubat terjadi pada tahun 1357 Masehi, ketika Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Prabu Linggabuana untuk melamar putrinya. Namun, Gajah Mada menafsirkan surat tersebut sebagai tanda penyerahan Kerajaan Sunda kepada Majapahit.

Gajah Mada kemudian menyambut rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat dengan sikap sombong dan menghina. Ia menuntut agar Prabu Linggabuana dan putrinya turun dari tandu dan berlutut di hadapan Hayam Wuruk sebagai tanda takluk.

Prabu Linggabuana menolak tuntutan tersebut dan memerintahkan pasukannya untuk bertempur melawan Gajah Mada. Perang pun pecah di alun-alun Bubat, dan berlangsung selama tiga hari tiga malam. Akhirnya, seluruh pasukan Sunda gugur, termasuk Prabu Linggabuana dan putrinya.

Hayam Wuruk sangat marah kepada Gajah Mada atas peristiwa tersebut. Ia memerintahkan agar Gajah Mada dipecat dari jabatannya sebagai patih dan dikurung di penjara. Namun, setelah beberapa tahun, Hayam Wuruk merasa kasihan kepada Gajah Mada dan membebaskannya dari penjara.

Baca Juga:  Resensi Novel “Laskar Pelangi”: Karya Sastra yang Menginspirasi

Kitab Sudayana

Kitab Sudayana adalah sebuah kitab naskah sastra Jawa Pertengahan yang digubah dalam bahasa Jawa Kawi. Kitab ini berisi tentang peristiwa Perang Bubat dari sudut pandang Kerajaan Sunda.

Kitab Sudayana menyebutkan bahwa Prabu Linggabuana sebenarnya tidak ingin mengirimkan putrinya ke Majapahit untuk dinikahkan dengan Hayam Wuruk. Ia khawatir bahwa putrinya akan menjadi korban politik Majapahit yang ingin menguasai Nusantara.

Namun, ia tidak bisa menolak surat lamaran Hayam Wuruk yang ditulis dengan sangat sopan dan hormat. Ia pun berangkat ke Majapahit bersama rombongan yang terdiri dari keluarga kerajaan, para menteri, para senopati, dan ribuan pasukan.

Sesampainya di Majapahit, rombongan Sunda disambut oleh Gajah Mada dengan sikap arogan dan angkuh. Gajah Mada mengatakan bahwa rombongan Sunda harus bersedia menjadi budak Majapahit jika ingin melangsungkan pernikahan tersebut.

Prabu Linggabuana merasa tersinggung dan marah dengan ucapan Gajah Mada. Ia pun memerintahkan pasukannya untuk melawan Gajah Mada dan pasukan Majapahit. Perang pun terjadi di alun-alun Bubat.

Dalam perang tersebut, Prabu Linggabuana gugur setelah berhadapan langsung dengan Gajah Mada. Putrinya, Dyah Pitaloka, juga gugur setelah bunuh diri dengan kerisnya. Hanya sedikit dari rombongan Sunda yang berhasil selamat dan kembali ke tanah Sunda.

Kidung Sunda

Kidung Sunda adalah sebuah kidung dalam bahasa Jawa Pertengahan yang digubah dalam bentuk tembang macapat. Kidung ini berisi tentang peristiwa Perang Bubat dari sudut pandang Kerajaan Sunda.

Kidung Sunda menyebutkan bahwa Prabu Linggabuana sangat mencintai putrinya, Dyah Pitaloka. Ia ingin agar putrinya menikahi pria yang baik dan setia. Ketika ia menerima surat lamaran Hayam Wuruk, ia merasa senang karena Hayam Wuruk adalah raja yang terkenal adil dan bijaksana.

Baca Juga:  Apa Saja yang Menyebabkan Budaya Bisa Bertahan Sampai Sekarang?

Ia pun berangkat ke Majapahit bersama rombongan yang terdiri dari keluarga kerajaan, para menteri, para senopati, dan ribuan pasukan. Dalam perjalanan, ia bermimpi bahwa putrinya akan menjadi ratu di Majapahit dan membawa kemakmuran bagi kedua kerajaan.

Namun, mimpi indah itu sirna ketika ia sampai di Majapahit. Ia disambut oleh Gajah Mada dengan sikap sombong dan kasar. Gajah Mada mengatakan bahwa rombongan Sunda harus tunduk kepada Majapahit sebagai syarat pernikahan tersebut.

Prabu Linggabuana tidak mau menerima perlakuan itu. Ia pun memerintahkan pasukannya untuk bertempur melawan Gajah Mada dan pasukan Majapahit. Perang pun terjadi di alun-alun Bubat.

Dalam perang tersebut, Prabu Linggabuana gugur setelah berhadapan langsung dengan Gajah Mada. Putrinya, Dyah Pitaloka, juga gugur setelah bunuh diri dengan kerisnya. Hanya sedikit dari rombongan Sunda yang berhasil selamat dan kembali ke tanah Sunda.

Kidung Sundayana

Kidung Sundayana adalah sebuah kidung dalam bahasa Jawa Pertengahan yang digubah dalam bentuk tembang macapat. Kidung ini berisi tentang peristiwa Perang Bubat dari sudut pandang Kerajaan Sunda.

Kidung Sundayana menyebutkan bahwa Prabu Linggabuana sangat mencintai putrinya, Dyah Pitaloka. Ia ingin agar putrinya menikahi pria yang baik dan setia. Ketika ia menerima surat lamaran Hayam Wuruk, ia merasa senang karena Hayam Wuruk adalah raja yang terkenal adil dan bijaksana.

Ia pun berangkat ke Majapahit bersama rombongan yang terdiri dari keluarga kerajaan, para menteri, para senopati, dan ribuan pasukan. Dalam perjalanan, ia bermimpi bahwa putrinya akan menjadi ratu di Majapahit dan membawa kemakmuran bagi kedua kerajaan.

Namun, mimpi indah itu sirna ketika ia sampai di Majapahit. Ia disambut oleh Gajah Mada dengan sikap sombong dan kasar. Gajah Mada mengatakan bahwa rombongan Sunda harus tunduk kepada Majapahit sebagai syarat pernikahan tersebut.

Prabu Linggabuana tidak mau menerima perlakuan itu. Ia pun memerintahkan pasukannya untuk bertempur melawan Gajah Mada dan pasukan Majapahit. Perang pun terjadi di alun-alun Bubat.

Baca Juga:  Jelaskan Motif Grompol pada Batik Yogyakarta dan Motif Sidomukti pada Batik Surakarta

Dalam perang tersebut, Prabu Linggabuana gugur setelah berhadapan langsung dengan Gajah Mada. Putrinya, Dyah Pitaloka, juga gugur setelah bunuh diri dengan kerisnya. Hanya sedikit dari rombongan Sunda yang berhasil selamat dan kembali ke tanah Sunda.

Kidung Sundayana menggambarkan perang tersebut dengan sangat dramatis dan menyentuh. Kidung ini juga mengungkapkan rasa cinta dan kesetiaan Dyah Pitaloka kepada ayahnya dan tanah kelahirannya. Kidung ini juga mengecam Gajah Mada sebagai orang yang tamak dan kejam.

Kidung Sundayana merupakan salah satu karya sastra yang paling populer di kalangan masyarakat Sunda. Kidung ini sering dibacakan atau dinyanyikan dalam berbagai acara budaya atau ritual. Kidung ini juga menjadi sumber inspirasi bagi banyak seniman dan budayawan Sunda.

Kesimpulan

Perang Bubat adalah peristiwa sejarah yang menggugah hati banyak orang, terutama orang Sunda. Perang ini juga melahirkan beberapa karya sastra yang ditulis pada zaman Majapahit akhir. Karya sastra tersebut adalah:

Karya sastra tersebut merupakan hasil karya sastra zaman Majapahit akhir yang isinya menceritakan perang bubat adalah kitab. Karya sastra tersebut memiliki nilai sejarah, budaya, dan estetika yang tinggi. Karya sastra tersebut juga menjadi warisan budaya yang harus dilestarikan dan dipelajari oleh generasi-generasi mendatang.

Pos Terkait: