Pendidikan adalah salah satu faktor penting yang mempengaruhi perkembangan suatu bangsa. Namun, pada masa kolonial Belanda, pendidikan di Indonesia tidak diberikan secara merata dan adil kepada seluruh rakyat. Diskriminasi sosial yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda mengakibatkan timbulnya kecemburuan sosial, terutama bagi masyarakat kelas bawah yang ingin mengenyam pendidikan. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada masa kolonial diskriminasi yang dialami bangsa Indonesia di bidang pendidikan dan pengajaran mendorong para pemimpin bangsa Indonesia untuk melakukan perlawanan dan perjuangan.
Latar Belakang Diskriminasi Sosial di Bidang Pendidikan
Diskriminasi sosial di bidang pendidikan pada masa kolonial Belanda memiliki latar belakang politik, ekonomi, dan budaya. Secara politik, pemerintah kolonial Belanda tidak ingin rakyat Indonesia memiliki kesadaran nasional dan kemandirian. Oleh karena itu, mereka membatasi akses pendidikan bagi rakyat Indonesia, terutama yang berasal dari golongan pribumi atau bumiputera. Secara ekonomi, pemerintah kolonial Belanda hanya ingin mendapatkan tenaga kerja murah dari rakyat Indonesia. Oleh karena itu, mereka hanya menyediakan pendidikan dasar yang bertujuan untuk melatih keterampilan praktis dan menanamkan sikap patuh dan tunduk. Secara budaya, pemerintah kolonial Belanda merasa superior dan merendahkan budaya dan nilai-nilai lokal rakyat Indonesia. Oleh karena itu, mereka mengajarkan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah mereka dan mengabaikan bahasa daerah dan bahasa Melayu.
Jenis-Jenis Diskriminasi Sosial di Bidang Pendidikan
Diskriminasi sosial di bidang pendidikan pada masa kolonial Belanda dapat dilihat dari jenis-jenis sekolah yang didirikan oleh mereka. Berikut adalah beberapa jenis sekolah yang ada pada masa itu:
- Sekolah Rendah Eropa atau Europeesche Lagere School (ELS), sekolah ini diperuntukkan bagi anak-anak Eropa atau keturunan Eropa yang berada di Indonesia. Sekolah ini memiliki kurikulum yang setara dengan sekolah dasar di Belanda dan memberikan ijazah yang dapat digunakan untuk melanjutkan ke sekolah menengah atau tinggi di Belanda.
- Sekolah Bumiputera atau Hollandsch Inlandsche School (HIS), sekolah ini diperuntukkan bagi anak-anak pribumi atau bumiputera yang berada di Indonesia. Sekolah ini memiliki kurikulum yang lebih rendah dari ELS dan hanya memberikan ijazah yang dapat digunakan untuk melanjutkan ke sekolah lanjutan atau kejuruan di Indonesia.
- Sekolah Desa atau Volkschool atau disebut juga dengan Sekolah Rakyat, sekolah ini diperuntukkan bagi anak-anak desa atau pedesaan yang berada di Indonesia. Sekolah ini memiliki kurikulum yang sangat sederhana dan hanya memberikan pengetahuan dasar tentang baca, tulis, hitung, agama, dan keterampilan praktis.
- Sekolah Lanjutan atau Vervolgschool, sekolah ini diperuntukkan bagi lulusan HIS yang ingin melanjutkan pendidikan mereka. Sekolah ini memiliki kurikulum yang lebih tinggi dari HIS dan memberikan ijazah yang dapat digunakan untuk melanjutkan ke sekolah tinggi di Indonesia.
- Sekolah Peralihan atau Schakelschool, sekolah ini diperuntukkan bagi lulusan HIS yang ingin melanjutkan pendidikan mereka ke ELS. Sekolah ini memiliki kurikulum yang menyesuaikan dengan ELS dan memberikan ijazah yang dapat digunakan untuk melanjutkan ke ELS.
Dari jenis-jenis sekolah tersebut, terlihat bahwa ada perbedaan kualitas dan kesempatan pendidikan antara anak-anak Eropa dengan anak-anak pribumi. Anak-anak Eropa mendapatkan pendidikan yang lebih baik dan lebih banyak pilihan untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Sedangkan anak-anak pribumi mendapatkan pendidikan yang lebih buruk dan lebih sedikit pilihan untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
Dampak Diskriminasi Sosial di Bidang Pendidikan
Diskriminasi sosial di bidang pendidikan pada masa kolonial Belanda menimbulkan dampak negatif maupun positif bagi bangsa Indonesia. Dampak negatifnya adalah:
- Menimbulkan kesenjangan sosial antara golongan Eropa dengan golongan pribumi
- Menimbulkan ketidakpuasan dan kecemburuan sosial bagi masyarakat kelas bawah yang ingin mengenyam pendidikan
- Menimbulkan ketergantungan dan ketidakmandirian bagi rakyat Indonesia
- Menimbulkan penurunan kualitas sumber daya manusia Indonesia
- Menimbulkan hilangnya identitas nasional dan budaya lokal Indonesia
Dampak positifnya adalah:
- Menimbulkan kesadaran nasional dan semangat perjuangan bagi sebagian rakyat Indonesia
- Menimbulkan pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia yang berpendidikan dan berwawasan luas
- Menimbulkan gerakan-gerakan sosial dan politik untuk menentang penjajahan Belanda
- Menimbulkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia
Perlawanan dan Perjuangan Bangsa Indonesia
Diskriminasi sosial di bidang pendidikan pada masa kolonial Belanda mendorong para pemimpin bangsa Indonesia untuk melakukan perlawanan dan perjuangan. Beberapa bentuk perlawanan dan perjuangan tersebut adalah:
- Mendirikan organisasi-organisasi nasionalis seperti Budi Utomo (1908), Sarekat Islam (1912), Indische Partij (1912), Jong Java (1915), Jong Islamieten Bond (1924), Partai Nasional Indonesia (1927), dll.
- Mendirikan sekolah-sekolah nasionalis seperti Taman Siswa (1922), Boedi Oetomo School (1924), Muhammadiyah School (1924), Al-Irsyad School (1924), dll.
- Melakukan aksi-aksi demonstrasi seperti Sumpah Pemuda (1928), Peristiwa G30S/PKI (1965), Tragedi Malari (1974), dll.
- Melakukan perang gerilya seperti Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Aceh (1873-1904), Perang Padri (1803-1837), dll.
- Melakukan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945
Kesimpulan
Diskriminasi sosial di bidang pendidikan pada masa kolonial Belanda merupakan salah satu bentuk penindasan yang dialami oleh bangsa Indonesia. Diskriminasi ini menimbulkan dampak negatif maupun positif bagi perkembangan bangsa Indonesia. Dampak negatifnya adalah menimbulkan kesenjangan sosial, ketidakpuasan, ketergantungan, penurunan kualitas sumber daya manusia, dan hilangnya identitas nasional.