Saya adalah seorang guru penggerak di sebuah sekolah dasar di daerah terpencil. Saya bertugas untuk mengajar anak-anak yang berasal dari berbagai latar belakang sosial, budaya, dan ekonomi. Saya menyadari bahwa setiap anak memiliki potensi dan kekuatan yang berbeda-beda, dan saya ingin membantu mereka mengembangkan potensi tersebut menjadi prestasi.
Namun, saya juga menghadapi tantangan dalam melaksanakan tugas saya. Salah satunya adalah kurangnya sumber daya yang tersedia di sekolah saya, baik itu sarana, prasarana, maupun bahan ajar. Seringkali saya merasa frustrasi dan putus asa karena merasa tidak mampu memberikan pendidikan yang berkualitas bagi anak-anak saya.
Suatu hari, saya mendapat kesempatan untuk mengikuti pelatihan guru penggerak yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Di sana, saya diperkenalkan dengan konsep pendekatan berbasis aset (Asset-Based Thinking) yang dikembangkan oleh Dr. Kathryn Cramer.
Pendekatan ini merupakan cara praktis menemukan dan mengenali hal-hal yang positif dalam kehidupan, dengan menggunakan kekuatan sebagai tumpuan berpikir. Dengan pendekatan ini, kita diajak untuk memusatkan perhatian pada apa yang bekerja, yang menjadi inspirasi, dan yang menjadi kekuatan atau potensi yang positif yang dimiliki.
Saya tertarik dengan pendekatan ini karena saya merasa bahwa selama ini saya terlalu fokus pada kekurangan dan masalah yang ada di sekitar saya. Saya sering melihat anak-anak saya sebagai korban dari kemiskinan, ketidakadilan, dan ketidakberdayaan.
Saya juga sering merasa tidak memiliki cukup modal untuk mengajar mereka dengan baik. Saya lupa bahwa sebenarnya saya dan anak-anak saya memiliki banyak aset dan kekuatan yang bisa kita manfaatkan untuk mencapai tujuan kita.
Saya pun mulai menerapkan pendekatan berbasis aset dalam pekerjaan saya sebagai guru penggerak. Saya mulai mengidentifikasi dan menjaga kesadaran akan nilai dari aset-aset bersih yang dimiliki oleh sekolah saya, seperti modal manusia, modal sosial, modal fisik, modal finansial, modal lingkungan, modal budaya, dan modal politik.
Saya juga mulai mengenali dan menghargai potensi dan kekuatan dari setiap anak yang saya ajar. Saya tidak lagi melihat mereka sebagai objek belajar, tetapi sebagai subjek belajar yang aktif dan kreatif.
Dengan pendekatan berbasis aset ini, saya merasakan perubahan yang signifikan dalam diri saya maupun anak-anak saya. Saya menjadi lebih optimis, percaya diri, dan termotivasi dalam mengajar. Saya juga menjadi lebih kreatif dan inovatif dalam menyusun rencana pembelajaran dan menggunakan sumber daya yang ada. Anak-anak saya juga menjadi lebih antusias, bersemangat, dan berprestasi dalam belajar. Mereka juga menjadi lebih mandiri, tangguh, dan bertanggung jawab atas proses belajar mereka.
Saya percaya bahwa alasan yang tepat kenapa guru penggerak diarahkan untuk menggunakan pendekatan berbasis aset daripada pendekatan berbasis kekurangan adalah karena pendekatan ini mampu memberikan dampak positif bagi guru maupun siswa.
Pendekatan ini mampu meningkatkan kualitas pembelajaran dan pengembangan diri bagi semua pihak yang terlibat. Pendekatan ini juga mampu menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, harmonis, dan produktif.
Oleh karena itu, saya merekomendasikan kepada semua guru penggerak untuk mencoba menerapkan pendekatan berbasis aset dalam pekerjaan mereka. Saya yakin bahwa dengan pendekatan ini, kita bisa menjadi guru penggerak yang lebih baik dan bisa memberikan kontribusi positif bagi dunia pendidikan di Indonesia.