Nusantara adalah sebutan untuk wilayah kepulauan yang membentang dari Sumatera hingga Papua. Wilayah ini memiliki kekayaan alam yang melimpah, terutama rempah-rempah yang sangat diminati oleh bangsa-bangsa Eropa pada masa lalu. Oleh karena itu, sejak abad ke-16 hingga abad ke-20, Nusantara menjadi sasaran ekspansi dan penjajahan oleh beberapa negara Eropa. Siapa saja mereka? Berikut adalah ulasan singkat tentang bangsa – bangsa Eropa yang pernah menduduki atau menjajah di Nusantara.
Portugis (1509-1595)
Portugis merupakan bangsa Eropa pertama yang datang ke Nusantara. Mereka dipimpin oleh Alfonso de Albuquerque, seorang penjelajah dan gubernur jenderal India Portugis. Tujuan utama mereka adalah mencari rempah-rempah, terutama cengkeh dan pala, yang hanya tumbuh di Maluku. Mereka berhasil menjalin hubungan dagang dengan kerajaan Ternate dan Tidore, serta mendirikan benteng dan pos perdagangan di beberapa tempat, seperti Malaka, Ambon, Ternate, Solor, dan Timor.
Namun, Portugis juga melakukan monopoli perdagangan yang merugikan rakyat dan penguasa setempat. Mereka juga berusaha menyebarkan agama Katolik dengan cara paksa dan menghancurkan tempat-tempat ibadah Islam. Hal ini menimbulkan perlawanan dari berbagai pihak, baik dari kerajaan-kerajaan Nusantara maupun dari bangsa Eropa lain yang bersaing dengan mereka. Akhirnya, Portugis terdesak dan terusir dari Nusantara oleh Belanda pada akhir abad ke-16.
Belanda (1602-1942)
Belanda adalah bangsa Eropa yang paling lama dan paling kuat menjajah Nusantara. Mereka datang dengan membawa nama VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) atau Perusahaan Hindia Timur Belanda, sebuah perusahaan dagang yang memiliki hak monopoli perdagangan dan kekuasaan militer di Asia Tenggara. VOC berhasil mengalahkan Portugis dan menguasai jalur perdagangan rempah-rempah di Maluku. Mereka juga memperluas pengaruhnya ke berbagai wilayah lain di Nusantara, seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, dan Nusa Tenggara.
VOC beroperasi dengan sistem monopoli dan eksploitasi yang sangat keras terhadap rakyat dan sumber daya alam Nusantara. Mereka juga sering berkonflik dengan kerajaan-kerajaan setempat, seperti Mataram, Banten, Aceh, Gowa-Tallo, Bali, dan lain-lain. VOC juga melakukan politik adu domba (divide et impera) untuk memecah belah persatuan antara rakyat dan penguasa Nusantara.
Pada tahun 1799, VOC bangkrut dan dibubarkan oleh pemerintah Belanda. Selanjutnya, pemerintah Belanda langsung mengambil alih kekuasaan VOC di Nusantara dengan membentuk Hindia Belanda sebagai koloni resmi Belanda. Pemerintah kolonial Belanda menerapkan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) yang mengharuskan rakyat menanam tanaman komersial untuk diekspor ke Eropa. Mereka juga melakukan pembangunan infrastruktur seperti jalan raya, jembatan, rel kereta api, pelabuhan, dan irigasi untuk mempermudah pengangkutan hasil bumi.
Pada abad ke-20, muncul gerakan nasionalisme Indonesia yang menuntut kemerdekaan dari penjajahan Belanda. Gerakan ini dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Soekarno, Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, Mohammad Natsir, Agus Salim, Kartini, dan lain-lain. Mereka mendirikan organisasi-organisasi politik, sosial, budaya, dan pemuda untuk menyuarakan aspirasi rakyat Indonesia.
Pada tahun 1942, Belanda terpaksa menyerahkan Nusantara kepada Jepang karena kalah dalam Perang Dunia II. Namun demikian, Belanda tidak menyerah begitu saja dan mencoba merebut kembali Nusantara setelah Jepang menyerah pada tahun 1945. Hal ini memicu perang kemerdekaan Indonesia yang berlangsung hingga tahun 1949. Pada akhirnya, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia secara de facto pada tanggal 27 Desember 1949 melalui Konferensi Meja Bundar di Den Haag.
Inggris (1811-1816)
Inggris adalah salah satu saingan utama Belanda dalam memperebutkan pengaruh di Nusantara. Inggris memiliki kepentingan ekonomi dan strategis di Asia Tenggara sebagai bagian dari imperium kolonialnya. Inggris juga ingin menghalangi ekspansi Prancis di bawah Napoleon Bonaparte yang merupakan musuh besar Inggris pada masa itu.
Pada tahun 1811, Inggris berhasil menginvasi Jawa dengan dipimpin oleh Thomas Stamford Raffles. Raffles kemudian menjadi gubernur jenderal Inggris di Jawa selama lima tahun. Selama masa pemerintahannya, Raffles melakukan beberapa reformasi administrasi dan sosial di Jawa. Ia juga menghapus sistem tanam paksa Belanda dan menggantinya dengan sistem sewa tanah (landrent). Ia juga menghapus sistem feodalisme (priyayi) dan memberikan hak-hak sipil kepada rakyat biasa (abangan). Ia juga mendukung perkembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan di Jawa.
Salah satu sumbangsih Raffles yang paling terkenal adalah penemuan kembali situs Candi Borobudur pada tahun 1814. Ia juga menulis buku berjudul The History of Java yang menjadi salah satu sumber sejarah tentang Jawa pada masa lalu.
Pada tahun 1816, Inggris menyerahkan kembali Jawa kepada Belanda sesuai dengan Perjanjian London 1814 yang mengakhiri Perang Napoleon. Namun demikian, Inggris tetap mempertahankan pengaruhnya di beberapa wilayah lain di Nusantara yang telah mereka kuasai sebelumnya atau selama masa perang melawan Belanda. Beberapa wilayah tersebut antara lain adalah Bengkulu (1685-1824), Malaka (1795-1818), Singapura (1819-sekarang), Pulau Pinang (1786-sekarang), Labuan (1846-1890), Sarawak (1841-1946), Sabah (1881-1963), dan Brunei (1888-1984).
Spanyol (1521-1692)
Spanyol adalah salah satu negara Eropa yang tertarik dengan rempah-rempah Nusantara. Mereka datang ke Asia Tenggara melalui jalur barat dengan melewati Samudra Atlantik dan Selat Magellan. Salah satu tokoh penting Spanyol yang berhasil mencapai Nusantara adalah Ferdinand Magellan yang melakukan pelayaran keliling dunia pertama pada tahun 1519-1522.
Magellan tiba di Filipina pada tahun 1521 dan menjalin hubungan baik dengan raja setempat bernama Rajah Humabon. Namun Magellan tewas dalam pertempuran melawan raja lain bernama Lapu-Lapu di Pulau Mactan. Meskipun demikian,