Indonesia mengalami badai tsunami krisis ekonomi yang sangat parah pada tahun 1998. Krisis ini diawali dari krisis moneter yang terjadi di Thailand pada Juli 1997, yang menyebabkan nilai tukar baht anjlok terhadap dolar AS. Krisis moneter ini kemudian menyebar ke negara-negara Asia lainnya, termasuk Indonesia.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS merosot dalam angka relatif yang sangat besar, dari sekitar Rp 2.400 per dolar AS pada awal Juli 1997 menjadi Rp 16.800 per dolar AS pada akhir Januari 1998. Krisis nilai tukar ini berdampak pada krisis ekonomi yang meliputi sektor-sektor seperti perbankan, korporasi, fiskal, dan sosial.
Perekonomian Indonesia mengalami kontraksi hingga 14% pada tahun 1998, tingkat kemiskinan melonjak dua kali lipat menjadi 28%, dan inflasi meroket 80%. Sistem perbankan kolaps, korporasi berjatuhan, dan pemerintahan Orde Baru runtuh.
Dalam krisis ekonomi ini, sektor swasta memiliki peran penting dalam memperburuk kondisi krisis. Berikut adalah beberapa kontribusi pihak swasta yang malah memperburuk kondisi krisis:
Gelembung Ekonomi
Sebelum krisis moneter terjadi, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabil selama beberapa dekade. Pertumbuhan ekonomi ini didorong oleh aliran modal asing yang masuk ke Indonesia, baik dalam bentuk investasi langsung maupun portofolio.
Sektor swasta memanfaatkan aliran modal asing ini untuk melakukan ekspansi bisnis dan meningkatkan kapasitas produksi. Namun, sebagian besar modal asing ini bersifat jangka pendek dan rentan terhadap perubahan kondisi pasar.
Selain itu, sektor swasta juga banyak melakukan pinjaman dalam mata uang asing, terutama dolar AS, tanpa melakukan lindung nilai (hedging) terhadap risiko nilai tukar. Hal ini membuat sektor swasta sangat rentan terhadap fluktuasi nilai tukar rupiah.
Ketika krisis moneter terjadi, nilai tukar rupiah anjlok secara drastis, sehingga meningkatkan beban utang sektor swasta dalam mata uang asing. Banyak korporasi yang tidak mampu membayar utangnya dan bangkrut.
Selain itu, aliran modal asing juga berbalik arah keluar dari Indonesia karena adanya ketidakpercayaan terhadap kondisi ekonomi dan politik Indonesia. Hal ini menyebabkan penurunan investasi dan permintaan agregat, sehingga menekan pertumbuhan ekonomi.
Kredit Macet
Sektor perbankan merupakan salah satu sektor yang paling terpukul oleh krisis ekonomi. Sebelum krisis moneter terjadi, sektor perbankan mengalami pertumbuhan yang pesat dan tidak diimbangi dengan pengawasan yang ketat dari otoritas moneter.
Banyak bank-bank swasta yang melakukan praktik-praktik perbankan yang tidak sehat, seperti pemberian kredit tanpa memperhatikan prinsip kehati-hatian (prudential banking), nepotisme, kolusi, dan korupsi.
Banyak bank-bank swasta yang memberikan kredit kepada korporasi-korporasi afiliasi atau kelompok usaha tertentu tanpa mempertimbangkan kemampuan membayar (repayment capacity) dari debitur.
Ketika krisis moneter terjadi, banyak debitur yang tidak mampu membayar utangnya karena merosotnya nilai tukar rupiah dan menurunnya aktivitas ekonomi. Hal ini menyebabkan meningkatnya kredit macet (non-performing loan) di sektor perbankan.
Menurut data Bank Indonesia, rasio kredit macet sektor perbankan meningkat dari 4% pada akhir Juni 1997 menjadi 48% pada akhir Desember 1998. Banyak bank-bank swasta yang mengalami kekurangan modal (undercapitalized) atau bahkan insolven (insolvent).
Moral Hazard
Dalam upaya menyelamatkan sistem perbankan dari kegagalan sistemik (systemic failure), pemerintah mengambil langkah-langkah seperti memberikan jaminan penuh (blanket guarantee) kepada seluruh simpanan nasabah bank, menyuntikkan dana talangan (bailout fund) kepada bank-bank bermasalah, dan membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk mengelola aset-aset bank-bank yang dilikuidasi.
Namun, langkah-langkah ini ternyata menimbulkan masalah moral hazard (bahaya moral) di kalangan sektor swasta. Moral hazard adalah situasi di mana seseorang atau pihak tertentu cenderung bertindak lebih berisiko karena merasa dilindungi oleh pihak lain.
Dalam konteks krisis ekonomi Indonesia, moral hazard terjadi ketika sektor swasta merasa tidak perlu bertanggung jawab atas utang-utangnya karena mengharapkan bantuan dari pemerintah atau lembaga internasional seperti IMF.
Banyak korporasi-korporasi swasta yang enggan melakukan restrukturisasi utangnya dengan para kreditur asing karena berharap mendapatkan pembebasan utang (debt relief) atau penghapusan utang (debt cancellation).
Banyak bank-bank swasta yang enggan melakukan reformasi manajemen dan tata kelola (corporate governance) karena berharap mendapatkan suntikan dana talangan dari pemerintah tanpa syarat.
Banyak pemilik bank-bank swasta yang enggan menyerahkan aset-asetnya kepada BPPN sebagai imbalan atas dana talangan yang diterima karena berharap mendapatkan pengembalian aset-asetnya di kemudian hari.
Moral hazard ini menyebabkan proses pemulihan ekonomi menjadi lebih lambat dan sulit. Pemerintah harus menanggung beban fiskal yang sangat besar untuk menyelamatkan sistem perbankan dan korporasi. Menurut data Bank Indonesia, total biaya penyelamatan sistem perbankan mencapai Rp 644 triliun atau setara dengan 50% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada tahun 1999.
Kesimpulan
Badai tsunami krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1998 merupakan salah satu periode terkelam dalam sejarah ekonomi Indonesia. Krisis ini diawali dari krisis moneter yang menimpa beberapa negara di Asia Tenggara pada pertengahan tahun 1997.
Sektor swasta memiliki peran penting dalam memperburuk kondisi krisis dengan melakukan praktik-praktik ekonomi yang tidak sehat dan tidak bertanggung jawab. Beberapa kontribusi pihak swasta yang malah memperburuk kondisi krisis adalah:
- Membuat gelembung ekonomi dengan meminjam modal asing secara berlebihan tanpa lindung nilai
- Membuat kredit macet dengan memberikan pinjaman kepada debitur-debitur.
- Membuat moral hazard dengan mengharapkan bantuan dari pemerintah atau lembaga internasional tanpa melakukan reformasi
Krisis ekonomi ini menyebabkan kerugian yang sangat besar bagi perekonomian dan masyarakat Indonesia. Pemerintah harus melakukan berbagai langkah untuk mengatasi krisis, seperti meminta bantuan IMF, melakukan reformasi struktural, dan mengadakan pemilu demokratis.
Namun, proses pemulihan ekonomi tidak berjalan mulus dan memakan waktu yang lama. Hingga saat ini, Indonesia masih berusaha untuk mengembalikan kepercayaan investor, meningkatkan daya saing, dan mengurangi ketimpangan.
Oleh karena itu, krisis ekonomi 1998 harus menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia untuk menjaga stabilitas makroekonomi, mendorong pertumbuhan inklusif, dan mencegah terjadinya krisis serupa di masa depan.