Konflik agraria adalah salah satu masalah sosial yang sering terjadi di Indonesia. Konflik agraria adalah perselisihan atau pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berkaitan dengan penguasaan, penggunaan, pemanfaatan, dan pengelolaan tanah dan sumber daya alam lainnya. Konflik agraria dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat, lingkungan, dan hak asasi manusia (HAM).
Menurut data Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), pada tahun 2016 terjadi 450 kasus konflik agraria yang melibatkan 86.745 KK dan meliputi luas wilayah 1.265.027 hektar lahan. Kasus konflik tertinggi berada di Riau, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Mayoritas konflik yang muncul menyisir pada sektor perkebunan, properti, infrastruktur, kehutanan, tambang, migas, pesisir-kelautan, dan pertanian.
Konflik agraria seringkali melanggar HAM karena menimbulkan kekerasan, penggusuran paksa, kriminalisasi, diskriminasi, dan penindasan terhadap masyarakat adat, petani, nelayan, dan kelompok marginal lainnya yang bergantung pada tanah dan sumber daya alam untuk hidup. Konflik agraria juga merusak lingkungan hidup karena menyebabkan deforestasi, degradasi tanah, pencemaran air, udara, dan tanah, serta hilangnya keanekaragaman hayati.
Salah satu contoh konflik agraria yang menarik perhatian publik adalah kasus Semen Indonesia di Rembang. Kasus ini berkaitan dengan rencana pembangunan pabrik semen di kawasan Karst Kendeng yang merupakan cekungan air tanah yang harus dilindungi. Para petani Kendeng menolak pembangunan pabrik semen karena khawatir akan merusak lingkungan dan sumber mata air mereka. Mereka bahkan melakukan aksi cor kaki di depan istana negara untuk menagih janji Presiden Joko Widodo terkait moratorium penghentian tambang semen.
Upaya penyelesaian konflik agraria di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan dan hambatan. Salah satu penyebabnya adalah kehadiran mafia tanah yang tidak tersentuh hukum. Mafia tanah adalah kelompok orang atau lembaga yang melakukan praktik-praktik ilegal dalam hal penguasaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam dengan menggunakan kekerasan, intimidasi, korupsi, kolusi, nepotisme, atau manipulasi hukum. Mafia tanah seringkali bersekongkol dengan pejabat pemerintah, aparat keamanan, pengusaha besar, atau elit politik untuk mengambil alih tanah dan sumber daya alam dari masyarakat.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebagai lembaga negara yang bertugas untuk melindungi dan memajukan HAM di Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk menyelesaikan konflik agraria secara berbasis HAM. Salah satu upayanya adalah menyelenggarakan diskusi kelompok terfokus Penyelesaian Konflk Agraria Berbasis HAM di Indonesia pada September 2015. Diskusi ini melibatkan berbagai kementerian/lembaga terkait untuk menginventarisasi langkah-langkah yang telah dilakukan dalam menangani konflk agraria dan melihat peluang-peluang baru untuk menyamakan persepsi dan mendialogkannya dengan Presiden Joko Widodo.
Komnas HAM juga mendorong aparat hukum untuk menggunakan pendekatan restorative justice dalam menyelesaikan konflik agraria. Restorative justice adalah suatu proses penyelesaian konflik yang melibatkan para pihak yang terdampak secara langsung atau tidak langsung oleh suatu tindak pidana atau pelanggaran HAM untuk secara bersama-sama mencari pemahaman yang adil dan damai atas dampak yang ditimbulkan oleh tindakan tersebut. Restorative justice bertujuan untuk memulihkan hubungan yang rusak akibat konflik, memberikan keadilan bagi korban dan pelaku, serta mencegah terjadinya konflik berulang.
Selain itu, Komnas HAM juga mendukung Gerakan Nasional Pengelolaan Sumber Daya Alam yang difasilitasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Gerakan ini merupakan tindak lanjut dari nota kesepahaman dua belas kementerian/lembaga untuk percepatan pengukuhan kawasan hutan. Gerakan ini tidak hanya mengenai pengelolaan sumber daya di kehutanan tapi juga di berbagai sektor lainnya yang berkaitan dengan agraria.
Dari berbagai upaya yang telah dilakukan oleh Komnas HAM dan lembaga lainnya, dapat disimpulkan bahwa penyelesaian konflik agraria di Indonesia memerlukan kerjasama lintas sektoral dan partisipasi aktif dari semua pihak yang terlibat atau terdampak. Penyelesaian konflik agraria juga harus mengedepankan prinsip-prinsip HAM seperti hak atas tanah dan sumber daya alam, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak atas keadilan sosial dan ekonomi, hak atas perlindungan hukum yang adil dan tidak diskriminatif, serta hak atas perdamaian dan keamanan. Dengan demikian, konflik agraria dapat diselesaikan secara komprehensif dan berkelanjutan.